Main Events
Galery


Press Release

Pameran Foto Lautan Para Leluhur


Pusat kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien, Kedutaan Besar Swiss di Jakarta bekerja sama dengan Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA) kembali menyelenggarakan sebuah pameran foto karya fotografer kawakan Swiss, Beat Presser (62) yang mengusung tema “Sea of the Ancestors” atau Lautan para Leluhur.


Sea of the Ancestors adalah sebuah kesaksian visual lewat mata Beat Presser yang bercerita tentang ketangguhan pelaut Bugis dan pengelana samudera lainnya yang pertama kali masuk ke Madagaskar sekitar 2000 tahun lalu. Sepanjang jalur pelayaran dari Sulawesi hingga ke kawasan Samudera Hindia. Ini adalah  penghargaan yang tidak main-main mengingat sebagai bagian sejarah hal ini sudah banyak dilupakan.


Sementara foto-foto yang dipamerkan banyak dibuat di kawasan Samudra Hindia dekat Madagaskar, di lepas pantai Afrika Timur dan wilayah kepulauan Nusantara, BP, demikian panggilan Beat Presser, menuliskan naskah perjalanannya di Maumere, Flores, Indonesia, sekitar Mei 2014 ini.


Untuk menjalankan proyek ini BP rela menabung sebagian honor yang diperolehnya dari memotret serta mengajar di sejumlah universitas dan setelah uangnya cukup ia segera mengayunkan langkah sambil menenteng dua kamera kesayangannya yaitu Hasselblad dan Leica, tidak lupa sekurangnya 100 roll film negatif! Ia pergi ke lokasi dimana orang tidak berani untuk mendatanginya, ya BP memang menggunakan kamera dan film analog untuk mengerjakan proyeknya ini dan semuanya hitam putih (Black and White).


Semua dimulai dari penelusuran BP yang memulai riset pada 2009 dengan mendatangi Afrika Timur untuk menekuni budaya Dhow dan tinggal selama enam bulan di atas perahu layar yang berbeda-beda serta melayari Samudera Hindia, di sepanjang Pantai Timur Afrika. Sebenarnya sejak ia tinggal selama lima tahun di Madagaskar di tahun 1990-an, sebuah pertanyaan selalu mengusiknya. Jenis perahu apakah yang pertama mendarat di pantai Madagaskar? Dari mana para petualang ini berasal? Apakah dari Afrika, Arab, India atau Indonesia? Sebuah negeri yang sangat jauh di Selatan? Bagaimana perahunya dibuat dan perlengkapan apa yang digunakan dalam pelayaran sejauh ini? Apa saja yang tersisa dari masa lalu dan masih terlihat hingga saat ini sebagai bagian dari tradisi?


BP masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 2012 dan prosesnya juga cukup unik. Ia pernah mendengar sebuah lagu Theme Song opera berjudul Happy End, ciptaan Komposer Jerman Kurt Weill dan penulis Bertolt Brecht yang dipanggungkan pertama kali pada tahun 1929 di Berlin.


Lagu berjudul Surabaya Johnny yang dinyanyikan oleh penyanyi Lotte Lena itu masih popular hingga sekarang dan terus didaur ulang aransemennya. Terakhir dinyanyikan oleh Marianne Faithfull.


Lagu itu berkisah tentang seorang gadis usia 16 tahun yang jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Surabaya Johnny saat mereka bertemu di Burma. Sang gadis jatuh cinta kepada pemuda itu walaupun berkali-kali ditipu, dibohongi, diperas uangnya dan kemudian meninggalkannya, namun si gadis tak jera mencintainya.


Ketika BP datang ke Surabaya pada Agustus 2012 ia sempat mencari keterangan tentang sosok Surabaya Johnny itu tetapi tak ada seorangpun yang tahu hingga suatu hari seorang sopir taksi yang mengantarnya keliling pelabuhan tanjung Perak mengatakan “kalau Anda beri alamatnya saya akan temukan dia dan mengantarnya pada Anda”.


Dari Surabaya, BP terus berkelana ke sejumlah pelabuhan Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Tak berhenti sampai di situ ia juga kemudian pergi ke Makassar dan Tanaberu di Sulawesi Selatan tempat pembuatan perahu tradisional oleh masyarakat Bugis. Ia pun berkesempatan berlayar dengan perahu Phinisi yang legendaris itu dari Bira ke Larantuka di Flores kemudian kembali lagi ke Makassar dan kemudian ikut dengan perahu pengangkut barang ke Balikpapan di Kalimantan.


Semua foto-foto hitam putih Beat Presser saat ini siap dinikmati publik Jakarta, dan pembukaan pameran akan dilaksanakan pada Jumat (19/9) pukul 19.30 bertempat di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA), Jalan Antara,  no.59, Pasar Baru Jakarta Pusat. Pameran direncanakan dibuka oleh Direktur Goethe Institut Indonesien Dr. Heinrich Bloemeke, bersama Charge d’affaires Kedutaan Besar Swiss di Jakarta Daniel Derzic dan juga Direktur Utama Perum LKBN Antara Syaiful Hadi.


Pameran terbuka untuk umum hingga 5 Oktober 2014 di GFJA (Senin dan hari besar libur). Gallery Talk atau bincang-bincang dengan Beat Presser dijadwalkan pada Minggu, 21 September 2014 pukul 15.00 WIB.  GFJA/Sist

 

Catatan:

Untuk keperluan publikasi pihak Penyelenggara Pemeran menyediakan sejumlah foto-foto yang dapat digunakan sebagai materi pemberitaan. Silahkan menghubungi:

1.     Dhira Dhanny Widjaya (0813 1410 3577) / danny@gfja.org

2.     Mosista Pambudi (0811 926 959) / mosista@gfja.org